Adolescence: Ketika Anak “Diasuh” oleh Algoritma Media Sosial

 

(Spoiler alert, jangan baca tulisan ini jika Anda berniat dan belum menonton film “Adolescence“)


Getir, merinding dan sesak
Itu suasana hati yang saya rasakan usai menonton mini seri Adolescence sebanyak 4 episode yang ditayangkan di Netflix ini. Adegan dibuka dengan penggerebekan rumah keluarga biasa, karena sang anak pria yang baru berumur 13 tahun dituduh melakukan pembunuhan seorang gadis, teman sekolahnya. Cerita berlanjut dengan proses pemeriksaan di kantor polisi. 

Berjalan dengan alur yang terkesan lambat karena sangat detail menerangkan adegan demi adegan yang diambil dengan metoda one shot, membuat saya terus terang merasa bosan awalnya. Cuma karena penasaran apakah anak sekecil itu benar pembunuhnya membuat saya bertahan menonton film ini. Tapi ternyata, saya menarik napas ketika cerita terus berjalan, ini bukan sekedar pencarian kebenaran, jauh lebih besar daripada itu. Episode satu mulai menguras emosi saat proses interogasi dilakukan oleh polisi kepada Jamie Miller, si anak, yang didampingi oleh pengacara dan bapaknya. Satu per satu bukti dimunculkan, pertanyaan dari sang polisi banyak dijawab dengan “No comment” oleh Jamie. Sampai di satu titik bukti CCTV diperlihatkan yang menghancurkan hati sang ayah, Eddie Miller. 

Episode 2 dilanjutkan dengan pemeriksaan di sekolah, di sini lah mulai tampak lingkungan sekolah yang tidak mendukung kesehatan mental siswa-siswanya. Aksi perundungan dari sesama siswa kepada siswa lainnya kerap ditampilkan dalam episode ini. Tapi yang cukup menghentak saya adalah ketika muncul penjelasan dari salah seorang siswa tentang “kode tersembunyi” yang muncul dalam interaksi daring, baik via chat ataupun komen di medsos” yang ternyata memiliki makna tertentu di kalangan remaja ini, yang bagi para orang tua seolah hanya pesan biasa. Perundungan siber (cyberbully) pun terlihat ketika kita memahami kode-kode tersebut. 


Episode 3 sangat menguras emosi, saat seorang psikolog, Briony Ariston, melakukan wawancara terakhirnya dengan Jamie, setelah melalui serangkaian wawancara sebelumnya. Di sini kita bisa melihat bahwa Jamie memendam luka begitu besar akibat perundungan, sekaligus mendapatkan “prinsip hidup” yang keliru yang dia dapat dari media sosial untuk mengatasi perundungan tersebut. Misoginis menjadi ideologi toxic yang dia percaya akibat pengaruh media sosial, dan itu ditunjukkan saat menjawab pertanyaan dari sang psikolog perempuan. Sebuah simbolis sandwich berisi acar yang hanya digigit satu kali oleh Jamie dan dibiarkan begitu saja, sempat membuat Briony mual saat akan membereskannya di akhir sesi. Sandwich yang sebenarnya tidak ia ingin dan butuhkan, tapi Jamie gigit karena dia merasa “berkuasa” melakukannya, seperti dia merasa berkuasa untuk melakukan hal seperti itu kepada perempuan.

View on Threads


Episode ke empat mengambil POV keluarga Miller yang masih berduka atas “hilangnya” Jamie dari kehidupan mereka, mereka coba menata hidupnya kembali dengan berbagai tantangan yang muncul dari lingkungan. Tetapi saat mereka mencoba kembali dalam rutinitas hidup, bercanda bahkan berencana mau menonton ke bioskop, muncul kenyataan getir yang mereka harus terima. Sebagai seorang ayah, saya sangat relate dengan kondisi Eddie yang terpukul dengan kenyataan ini. Saya tidak kuasa menahan air mata saat di akhir cerita, Eddie menangis sendirian di dalam kamar Jamie, mengambil boneka kesayangan sang anak, memasukkannya dalam selimut, mengecupnya sambil berkata “I’m sorry son”. Akhhhh…. Merasa gagal menjadi seorang ayah adalah ketakutan terbesar banyak pria dewasa, termasuk saya.



Terlalu banyak pesan yang disampaikan dalam film ini yang diramu begitu apik. Salah satunya adalah bagaimana pola pikir, nilai hidup yang diadopsi oleh remaja, ternyata bukan berasal dari nilai-nilai yang dia dapat di rumah ataupun sekolah, tapi nilai yang dia dapat dari algoritma media sosial, yang tidak bisa kita kontrol. Toxic ideology meracuni pikiran si anak sehingga dia meyakini nilai yang jauh berbeda dari yang dia dapat di rumah.

Ini menjadi tamparan keras bagi saya sebagai orang tua dengan dua remaja yang aktif di dunia digital. Apa yang mereka dapat di sana jauh lebih beragam dibandingkan dengan apa yang kita ajarkan, apa yang kita ketahui. Ketika mendiskusikan tentang film ini, saya meminta mereka untuk Googling tentang incel, dan apa jawaban mereka? “Udah tauuuuu”. Saya termenung sejenak. Berikutnya ketika saya tanya apakah kalian tahu Andrew Tate, si misogynist influencer? Jawaban mereka pun kompak sama “iya, tahu juga”. Buat orang tua yang “merasa” dekat dengan anak dan “merasa” tahu aktivitas anak di luar maupun di dalam ruang digital, jawaban ini cukup menohok. Mereka sudah tau Tate sejak 2-3 tahun lalu dari TikTok, bagaimana ideologi yang dia sebarkan, termasuk lewat podcast. Sementara saya baru tahu gara-gara film ini :((

Kamar anak yang tenang tempat mereka belajar, bermain, istirahat dan sebagainya, ternyata begitu “bising” dengan beragam celoteh di media sosial. Ketika orang tua menganggap dunia itu terbagi antara dunia nyata dan dunia maya (digital), anak-anak tidak lagi melihat batasan itu. Dua-duanya ada dalam garis linear yang mengisi kehidupan mereka. Maka jangan heran, jika saat ini anak-anak kita tidak hanya mendapat pengasuhan di rumah dan di sekolah, tapi juga "diasuh" oleh algoritma media sosial.
Wahai para orang tua, apakah kita siap menghadapi fenomena ini? Apakah kita siap saat informasi yang membanjiri media sosial merasuk dalam pikiran anak-anak kita  dan membentuk mereka tanpa kita sadari? Apa yang harus kita lakukan menghadapi semua ini? 

(Silakan juga baca tulisan apik dari Prasasti yang membahas fenomena Incel:  


(Silakan juga baca tulisan apik dari Prasasti yang membahas fenomena Incel:  
Ketika Internet Mengasuh yang Terluka: Dari Serial Adolescence Hingga Kebencian dan Kekerasan di Forum Incel di Ruang Digital)

Komentar